Berhomeschooling
Lagi
January 2013, Daffa masuk sekolah formal.
Semula dia begitu bersemangat, wajahnya ceria akan
memulai sesuatu hal yang baru.
Masuk bulan May 2013, dia redup, lunglai, jatuh
sakit.
Jadwal sekolahnya di mulai dari pukul 7 pagi sampai pukul
6 sore.
Meski tidak padat artinya ada jam istirahat tetap saja membuat Daffa
lelah, belum lagi masa penyesuaian yang dia alami.
Aku maklum kalau semua tidak
berjalan sesuai angan, setidaknya kami sudah mencoba.
Aku sudah mulai ragu kalau ini saat yang tepat bagi Daffa
memulai sekolah formal karena perubahan emosi Daffa begitu tajam yang aku
rasakan, bukannya dia cemerlang tapi malah meredup.
Daya belajarnya hampir
punah, dia membenci semua bukunya, dia tidak membaca lagi seperti sebelum masuk
sekolah formal.
Aku patah hati sesaat, tetapi aku ingat dan aku sadari
bahwa sekolah formal bukan segalanya. Tapi sekali lagi aku tekankan, tidak
semua Sekolah Formal itu buruk dan tidak semua Homeschooling itu paling baik.
Bisa jadi Cuma kami yang mengalaminya.
Kalau masalah penyesuaian diri setiap anak itu
berbeda-beda aksi dan reaksinya.
Bagi
Daffa berbaur tidak masalah karena dia ini mudah berbaur serta melebur dengan
dunia baru.
Bahkan cenderung jadi pemecah keheningan alias melumerkan suasana
yang dingin.
Daffa cenderung usil dan jahil menggoda temannya tapi di balik itu
semua dia sedikit perasa terbukti ketika rambutnya digunting Kepala Sekolahnya
di depan teman-temannya, dia merasa malu dan terpukul.
Sebagai Ibu aku harus menguatkan
hatinya, membesarkan hatinya yang meredup itu. Beberapa kali aku bilang padanya
bahwa kejadian yang tidak kita inginkan itu kadang tak terhindarkan lalu
membuat kita kecewa tetapi dari kejadian itu kita jadi belajar banyak hal,
kekecewaan itu tidak selamanya tidak berguna justru kekecewaan itu ajang
belajar kita untuk kuat dan membuat lebih mawas diri tentunya, mengajarkan pula
agar tidak berbuat hal yang sama yaitu mengecewakan orang lain.
Dari berhomeschooling sampai sekolah dasar, melalui ujian
persamaan Paket A dengan riang tanpa tegang lalu bersekolah formal di SMP,
merasakan sensasi bersekolah formal, berbaur bersama teman-teman yang itu saja
selama berbulan-bulan.
Pada akhirnya Daffa merasakan seperti ini(ini hasil
curhatnya dia padaku) : “Ma, aku capek
koq belajarnya cuma di buku paket itu saja, belum lagi kalau ada jam kosong,
apa hebatnya mencatat sesuatu hal yang sudah ada di buku paket, ah aku buang
banyak waktu”.
Cukup sudah selain menarik napas panjang, aku coba diam menelaah
semua curhatnya.
“Ma,
aku mau homeschooling lagi ya, aku mau belajar Bahasa dan Sastra Inggris juga
belajar gitar sedetailnya”.
Bismillahirrohmanirrohiim, mari kita mulai Nak.
Catatan
: Ini semua yang kami alami nyata tapi sekali lagi bukan berarti semua sekolah
formal itu buruk atau tidak cocok bagi anak-anak begitu juga bahwa tidak semua
homeschooling itu cocok dan paling baik bagi anak-anak tapi keputusan yang
sudah dibuat itu ada baik buruknya dan sangat wajib diperjuangkan untuk
diwujudkan sekuat tenaga sama-sama berjuang dalam pendidikan anak-anak.